Sabtu, 04 Januari 2014

Manusia Melayu Tua

Kehidupan Suku Anak Dalam Jambi

Senja Hari di Pekarangan Manusia Melayu Tua


Senja itu matahari mulai lelah bersinar, seakan sinarnya tak mampu menembus lebatnya hutan tempat sekelompok manusia Melayu Tua bertahan hidup di tengah belantara. Sesekali terdengar percakapan bahasa mereka yang susah dipahami.

Mereka adalah Suku Anak Dalam di Jambi Sumatera Selatan, pola hidupnya hingga kini masih mengikuti warisan nenek moyangnya. Mulai dari cara berburu, berpakaian, mengobati hingga menerapkan simbol-simbol tertentu sebagai orang rimba.

Ketika itu sudah senja. Meski cuaca di daerah Pauh, Serolangun Jambi cerah, namun matahari mulai meredup seakan ingin segera masuk ke peraduannya. SRIKANDI masih mencari jejak setelah sekian jam lamanya mencari keberadaan Suku Anak Dalam yang dari genarasi ke generasi masih bertahan dalam kehidupan terbenteng dari peradaban dunia luar.

Setelah menelusuri hutan dan jalanan yang tidak ramah untuk dilalui, akhirnya Suku Anak Dalam -- masyarakat setempat menyebut: orang rimba -- berhasil ditemui. Tampak mereka sedang berada di pekarangan yang tidak begitu luas di hutan itu. Di tempat itu terdapat gubug-gubug sederhana untuk tempat tinggalnya.

Gubuk-gubuk itu dibangun ala kadarnya di bawah pepohonan sebagai pelindungnya. Dari sela-sela pepohonan nan rindang, terlihat dari kejauhan anak-anak kecil telanjang bulat berlari-larian bercanda dengan teman-teman menikmati sore hari sebelum malam tiba. Tak jauh dari mereka bermain, beberapa wanita menggendong anak sambil menyusui. Sebagian lagi ada yang hanya duduk-duduk entah apa yang sedang mereka pikirkan. Agak jauh dari tempat bermain anak anak, di sana ada balai kumuh terbuat dari kayu terlihat seorang lelaki kurus tanpa baju sedang merebahkan badannya. 

Tidak ada laki-laki lain selain yang sedang tiduran di atas balai itu. Kelompok orang rimba yang berada di lokasi itu jumlahnya tidak banyak sekitar delapan kepala keluarga, bila dihitung semuanya berjumlah tak lebih dari dua puluh orang. Mereka semua hidup dalam damai di dunianya sendiri. Tetapi suasana mendadak berubah sedikit tegang, setelah mereka melihat kilatan kamera diarahkan di pekarangannya. Tegur sapanya cenderung menyelidik dan defensif kepada orang yang mendekatinya.
“Ada apa?” sergah salah satu wanita tengah baya yang berada di kelompok itu dengan logat mirip bahasa Palembang. Lalu wanita paruh baya itu lebih mendekati lagi ke arah asal kilatan kamera berada, sambil menyodorkan opsi. “Kalau potret boleh, tapi bayar! Kalau tidak bayar, tidak potret,” sergahnya cepat. Belum sempat menjawab permintaannya, muncul dari belakang sosok lelaki muda yang berperawakan kurus tanpa mengenakan baju. Badannya bau anyir, kakinya bersisik kotor bisa dipastikan: jarang mandi. Air merupakan barang langka dalam kehidupannya. Mulutnya tak berhenti mengunyah daun sirih yang biasanya dicampur dengan gamping, dan sesekali lidahnya dijulurkan keluar menyapu kunyahan sirih yang belepotan dibibirnya. “Ya. Harus bayar!” Kata lelaki itu menegaskan sambil menyalakan rokok.

Lelaki muda itu bernama Akhas. Ia ditugasi oleh ketua kelompoknya untuk menjaga para wanita dan anak-anak, karena para suami dan pemudanya sedang berburu binatang ke hutan bisa sampai berhari-hari. Para wanita dan anak-anak pun harus sabar menunggu meski tidak bisa dipastikan kapan kembali. Sesekali Akhas mengisap rokok dalamdalam, lalu kepulan asapnya tersapu angin sore di pekarangan asing itu. Ia memilih berdiam diri sejenak di samping Mariam, si wanita paruh baya yang kali pertama menyapa. Akhas dan Mariam berdiri terpaku menatap kamera yang masih difokuskan ke arah mereka. Tak lama kemudian anak-anak yang tengah asyik bermain tehenti, dengan polosnya lalu mendekat berjejal-jejalan menjurus ke arah yang sama. Dua wanita muda yang sedang menyusui anak dalam gendongannya pun juga mendekat, dan beberapa lagi wanita yang masih di balai kayu ikut merapat hingga menyatu dalam satu kerumunan. “Suami dan anak-anak kami sedang berburu, pulang lama,” kata Mariam menimpali.

Suku Anak Dalam tak lepas dari berburu karena mereka mengandalkan makanan dari daging hasil buruan dan buah-buahan yang ada di sekelilingnya. Mariam agaknya mulai membuka diri, lalu melanjutkan pembicaraannya. Mereka baru pindah dari tempat yang tak jauh dari lokasi yang mereka tempati sekarang. Alasannya, karena ada salah satu keluarganya meninggal. “Kami harus pindah untuk menghilangkan rasa sedih setelah ada yang meninggal. Di tempat ini kami juga akan pindah kalau ada yang meninggal lagi, atau kalau sudah tidak ada lagi rejeki di tempat ini,” jelasnya.
Sesuai adat, bila ada yang meninggal maka keluarganya harus mengenakan ikat kepala sebagai simbol berkabung. “Itu ada yang pakai ikat kepala karena suaminya meniggal,” jelas Mariam menunjuk ke arah salah satu wanita yang tampak wajahnya kuyu sejak suaminya meninggal tiga bulan lalu karena sakit. Tak sepatah kata pun terucap dari mulut wanita yang sedang dirundung malang itu. Ia lebih suka mendengarkan
setiap kali Mariam berbicara, dan hanya memandang dengan tatapan kosong. Matanya tampak sembab, seakan belum bisa melupakan kepergian suami untuk selamanya. (bersambung).